Minggu, 28 September 2014

Prajurit Masa Depan

Seorang anak laki-laki berjalan mondar-mandir dengan kedua tangan yang dikepal. Diseberang sana tampak kawanan teman sebayanya yang tertawa lepas, kejar-kejaran, melompat, dan menari. Tapi ia tidak bisa diam, masih saja berjalan tak tentu arah. Mukanya memerah, keringatnya bercucuran. Teriknya matahari membakar kulitnya yang semakin gelap. 

Entah apa yang mengganggu pikirannya. Ia merogoh saku celananya, ada secarik kertas lusuh yang ia tulis setahun yang lalu. Dibacanya kembali, tulisannya segikit berantakan. Ada bekas tetesan kecap diatasnya. Matanya menatap tajam, sesekali ia berpaling melihat sosok anak yang sedang kejar-kejaran. Ia kembali menatap kertas ditangannya.

"Humam!" teriaknya. Anak laki-laki yang sedang kejar-kejaran itu menoleh dan berlari menghampirinya. 

"Ya, ada apa?" nafas anak yang bernama Humam itu terengah-engah. Bajunya telah basah oleh keringat.

"Nanti ketika kita SMA, kita akan satu sekolah kan?" katanya. Yang ditanya tampak bingung. "Ayo katakan iya. Kita akan satu sekolah kan?"

"Aku tidak tahu, sepertinya kita tidak satu sekolah" anak laki-laki itu tertunduk, mukanya pucat.

"Kenapa? Bukankah kita sudah berjanji jika kita sudah besar nanti, kita akan masuk ke SMA yang sama? Kau melupakan janjimu?" ia menggenggam kertas yang sedari tadi di pegangnya. 
"Kau lupa dengan kertas ini? Aku masih menyimpannya" balasnya lagi.

"Ti..tidak. Bukan begitu Kamil. Aku hanya takut" Humam mencoba melihat wajah Kamil. Kamil menatapnya dengan geram. 

"Takut apa? Kenapa?"

"Hmm.. Bun..bunda kemarin memanggilku selepas Ashar. Bunda bilang, dua minggu lagi aku akan diadopsi oleh orangtua angkatku. Aku sengaja tidak memberitahumu sampai aku benar-benar siap" mata Humam berkaca-kaca. Ia memegang ujung bajunya. 

"Kenapa Humam, kenapa kau tidak mengatakannya padaku? Kenapa aku tidak diberi tahu?" Kamil semakin geram, firasatnya benar bahwa ia akan kehilangan sahabatnya.

"Aku hanya takut, aku takut kehilanganmu. Aku benar-benar belum siap. Aku tidak akan pernah lupa tentang surat itu. Tapi mau bagaimana lagi, aku tidak mungkin menolak permintaan Bunda. Bunda sangat baik terhadapku" tangisnya tertahan. Dihapusnya air mata yang semakin mengalir deras. Sebagai anak laki-laki ia tidak ingin terlihat cengeng terlebih didepan Kamil, sahabatnya.

"Lalu, bagaimana dengan aku? Kau akan meninggalkan aku sendiri" 

"Tidak Kamil, kau akan selalu menjadi sahabatku. Percayalah, kita akan bertemu lagi suatu hari nanti. Aku tidak akan melupakan janji kita" Humam memeluk sahabatnya.

"Aku akan belajar yang rajin supaya nilaiku bagus, dan nanti aku akan menyusulmu masuk ke SMA yang sama."

"Ku pegang janjimu, kau sahabat terbaikku" Humam melapaskan pelukannya.

"Sudah, aku tidak ingin menghabiskan hariku hanya untuk bersedih. Ayo kita main" Kamil memukul pundak Humam dan berharap Humam kesal dan berlari mengejarnya.

"Siap dengan pukulanku??" balas Humam dan segera berlari menyusul Kamil. 

"Siaaappp" teriaknya. Bersiaplah masa depan aku akan datang, batin Kamil.


Sabtu, 27 September 2014

Bagiku

"sedihnya itu karena kita gak bisa memiliki yang bukan hak kita, 
dan kita tau (pasti) itu gak akan mungkin".

Ku tulis sebuah surat teruntuk kau yang tak pernah tersapa oleh raga. Meskipun aku tau tidak akan ada balasan untuk ini, tapi aku hanya ingin melakukannya. Siapa yang tau, kita tidak akan pernah tau sebelum kita mencoba. Semoga saja Tuhan menyampaikannya padamu. 

Dengarlah kau yang tak pernah tersapa oleh dekapan. Kadang aku menganggap Tuhan tidak adil, aku terlanjur cemburu melihat mereka bersama sedangkan aku tidak bisa memilikimu. Dengan semua gelak-tawa, keceriaan, bahagia dan menangis bersama. Mungkin aku harus menepi, telah terlalu jauh aku berlayar mencarimu. Terhempas ombak menabrak karang, tapi aku masih tidak menemukanmu. Pada akhirnya aku menangis karena aku menyadari bahwa semua hanyalah ilusi yang tak kunjung usai. Waktu berlalu begitu cepat, hingga aku tidak menyadari apa yang telah aku miliki sekarang. 


Minggu, 21 September 2014

Sebuah Pesan

Daun masih saja berguguran. Sama seperti sore-sore sebelumnya, dengan secangkir susu coklat kesukaanku, ku nikmati senja. Berusaha untuk menenangkan diri sejenak, entah berapa kali ku lirik handphone diatas meja. Tidak bergerak bahkan tidak bersuara. Terlalu sepi. 

Sesekali kuciumi aroma susu coklat kesukaanku dari kepulan asap ditepian cangkir yang kugenggam. Aku masih mencoba menenangkan diri, sudah dua hari sang Raja tidak menghampiri sang Ratu. Ku lirik lagi handphone ku, tidak ada tanda-tanda seseorang menghubungiku. Ku buka pesan-pesan yang masih kusimpan dan ku baca ulang. Ada emoticon peluk dan cium disana, aku merindukannya. Nyatanya, sampai detik ini masih saja sama. Rasanya badanku telah berlumut, entah berapa lama aku disini. Menunggu dan menunggu, beku bersama kursi kayu yang menyangga tubuhku dengan enggan. 

Beberapa menit kemudian, suara riuh kendaraan bersahutan. Satu persatu laki-laki berkopiah hitam turun dari sebuah mobil terbuka. Entahlah aku tidak peduli, bukan mereka yang aku harapkan saat ini.

"Ufaira!"

Aku terperanjat, aku mengenali suara itu. Aku bangkit meninggalkan kursi teras, melihat lebih dekat siapa dia. Hamid berjalan mendekat, dibelakangnya berbaris laki-laki berkopiah hitam yang ku lihat tadi sembari bershalawat. Tenang sekali.

"Aku membawa sesuatu. Ini adalah sebuah pesan dari masa depan. Ufaira, will you marry me?" ~

Jumat, 19 September 2014

Surat Murid Baru

Hai salam kenal murid baru. Kenalin nama aku Senja. Aku duduk dibangku nomor dua dari belakang, masih satu deret dengan tempat duduk kamu sekarang. Jangan nengok dulu ya, nanti bu guru tahu. Diem aja disitu, tetap dengan kertas ditanganmu. Istirahat nanti kita bisa kenalan lagi kalau kamu mau.

Tadi pagi aku melihatmu buru-buru mengayuh sepeda dengan tas yang resletingnya masih terbuka, bukumu jatuh, aku tertawa hehe. Kamu tinggal di Kompleks Melati kan? Rumahku tepat didepan rumahmu. Diam-diam aku mengamatimu tadi. Mukamu yang panik itu lucu. Apalagi saat anjing pak Rudi rumah nomer 7 tiba-tiba keluar menggonggongimu, sepedamu hampir rubuh, buku yang baru kamu pungut jatuh lagi. Melihatnya aku kaget sendiri, tapi lagi-lagi aku tertawa geli.

Aku gak nyangka kamu sekolah disini juga, dan kita juga sekelas. Aku pikir usia kamu lebih jauh dari aku, karena badanmu lebih tinggi dari aku dan mukamu (maaf) terlihat boros :p. Mungkin karena aku terlalu jauh melihatmu, harusnya aku melihatmu lebih dekat ya haha. Kabari aku kalau kamu mau berkeliling sekolah untuk melihat-lihat. Aku akan membawa kamu ke setiap tempat yang mungkin nggak semua anak tahu. Ini rahasia kita, aku yakin kamu pasti suka. Oke.

Jangan senyum-senyum bacanya, nanti bu guru curiga.

Oya, kamu suka bakso? kalau iya, kamu masuk di sekolah yang tepat. Bakso di kantin sekolah ini adalah bakso paling enak sedunia, yang jual Pak Amin namanya. Orangnya baik, kita bisa ngutang kalau nggak punya uang. Nanti aku ajak kamu berkenalan dengannya, siapa tahu Pak Amin memberimu semangkuk gratis dan aku ketularan dapet gratis juga. :D

Aku harap hari ini akan jadi hari perkenalan yang indah. Karena setelah ini kita akan sering bertemu sebagai tetangga dan teman sekelas.

Sudah dulu ya murid baru. Istirahat nanti aku akan menghampirimu. Tapi jangan kaget kalau nanti aku banyak diam, karena aku seorang tuna wicara. Anggap saja surat ini adalah surat pengantar perkenalan kita :). Selamat belajar dikelas baru..



Senjania Sakhi 

Sabtu, 13 September 2014

Sebuah Episode

Hujan malam ini mengantarkanku membuka lembaran yang telah basah dan tulisannya pun nyaris memudar. Kau yang pernah singgah diujung kuku, aku masih di pinggiran telaga ~

Siapa yang tau pasti hati seseorang? Siapa yang bisa fasih membaca keadaan? Siapa yang bisa merangkul dan mendekap lebih erat selain dirimu sendiri? Aku memang berdiri sendiri dengan sisa kemampuanku meyakinkan diri bahwa semua akan baik-baik saja. Tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan meskipun ragu mengganggu. Aku bersama 1000 burung kertas yang kurangkai dalam ingatan, kita akan bahagia. Kita akan menjemput semua itu, hanya saja butuh waktu. Terlalu sukar untuk menterjemahkannya. Tapi yang bertahanlah yang paling layak untuk diperjuangkan.

Dia yang tak bernama, bukankah dunia yang pernah kita lalui sangat berharga? Kita menjalaninya dengan hati, meski semua tidak pasti nyata. Apa yang kita butuh, Tuhan tahu. Saat kita minta, Tuhan mendengar. Saat kita percaya, Tuhan bekerja. Saat kita bersyukur, Tuhan memberi lebih. Sejauh apapun aku nantinya, dan sejauh apapun kamu. Ku kira rindu tak pernah bernama sama sepertimu, kesunyian adalah bahasanya dan diam adalah cara kita memahami semua. 

Dengarkan aku, kisah kita adalah sebuah perjalanan panjang yang seharusnya diabadikan. Kau bisa menjadikan aku esok sebagai kenangan atau mungkin saat ini. Sebab bersama-sama itu bukan sekedar untuk berbahagia, kita bersama pun untuk bertahan dalam kesulitan. Tidak semua yang menangis itu sedih, yang tertawa pun tak selalu berbahagia. Untuk sebuah kejadian yang harus dilupakan, aku tak pernah berjuang melupakannya. Aku hanya tak ingin mengingatnya.


Dibalik hujan ada kesedihan yang menetes diam-diam. Kesakitan kadang lebih indah ketika disamarkan. ~

Senin, 08 September 2014

Sepi Dalam Rasa

Hai senja, mungkin sudah terlalu lama aku tak menyapamu dalam rindu. Rindu yang beradu dalam putaran waktu yang terus berlalu. Masihkah aku dalam genggamanmu?

Senja, aku telah berteman sepi. Dia teramat baik terhadapku, dia mengajariku banyak hal. Mengajariku hal-hal yang selama ini mungkin terabaikan begitu saja. Terkadang sepi mengajariku arti kesendirian, memang tidak secara jelas tergambar. Tapi itu cukup membuatku lebih baik dalam mengartikannya.

Sepi adalah tempatku untuk bersembunyi. Dalam sepi aku menemukan diam, tempat dimana aku bebas berteriak dengan segala kekuatan yang aku miliki. Sepi tidak pernah kecewa bahkan marah terhadapku. Bukankah dia sangat baik?

Kepada sang waktu aku ceritakan kisahku. Kepada kenangan aku goreskan keindahan. Kepada hujan aku biaskan pelangi. Tentang segala macam lakon, kecemasan, dan ketakutan.

Senja, bagaimana aku harus meng-eja rasa? Jika membacanya saja aku masih tidak cukup kuasa. Aku tidak mahir untuk menakarnya. Hingga kesendirian datang lagi, sementara separuh jiwa ini dijaga oleh dia yang juga menjaganya. ~



Kamis, 04 September 2014

Hanya Sebuah Karena

Aku akan beranjak dari tempat duduk semula, melangkah dan bergerak lebih jauh. Bukan karena aku lelah, tapi karena aku tau semua akan baik-baik saja meskipun tanpa aku. Ada hal yang membuat bahagia dengan mengetahui kau akan lebih bahagia dari segala apa yang kau cari dan sekarang ada dalam genggamanmu.

Ketika kau benar-benar melangkah lebih jauh dan aku pun demikian. Menghilang dan menjauh dari segala hal yang membuatmu bersusah payah. Mungkin akan terasa berbeda karena memang kenangan hanyalah hantu disudut pikir. Terkadang memang kita tidak butuh alasan untuk menjawab semua itu. Karena rasa sakit yang membuat lebih kuat.

Aku memang tidak mahir mempelajarimu, hanya dengan sisa kemampuanku. Jangan menoleh ke arahku jika memang itu terlalu sulit. Jangan berhenti melangkah, berjalanlah meski aku tak mendampingi. 

Sejarah tak mungkin dilupakan. Kau bisa menutupinya. Kau bisa menambalnya sehingga licin dan rapi. Tapi kau akan selalu tahu apa yang tersembunyi di bawahnya. Seandainya semudah itu untuk menghapusnya.

Kita pernah saling merindukan, tapi tak pernah berani saling mengungkapkan. Hening adalah satu-satunya tempat dimana kata-kataku bebas berteriak. Terkadang aku lebih memilih diam, bukan karena tak punya kata, tapi karena itu lebih mudah daripada harus menjelaskan segalanya.~