Seorang anak laki-laki berjalan mondar-mandir dengan kedua tangan yang dikepal. Diseberang sana tampak kawanan teman sebayanya yang tertawa lepas, kejar-kejaran, melompat, dan menari. Tapi ia tidak bisa diam, masih saja berjalan tak tentu arah. Mukanya memerah, keringatnya bercucuran. Teriknya matahari membakar kulitnya yang semakin gelap.
Entah apa yang mengganggu pikirannya. Ia merogoh saku celananya, ada secarik kertas lusuh yang ia tulis setahun yang lalu. Dibacanya kembali, tulisannya segikit berantakan. Ada bekas tetesan kecap diatasnya. Matanya menatap tajam, sesekali ia berpaling melihat sosok anak yang sedang kejar-kejaran. Ia kembali menatap kertas ditangannya.
"Humam!" teriaknya. Anak laki-laki yang sedang kejar-kejaran itu menoleh dan berlari menghampirinya.
"Ya, ada apa?" nafas anak yang bernama Humam itu terengah-engah. Bajunya telah basah oleh keringat.
"Nanti ketika kita SMA, kita akan satu sekolah kan?" katanya. Yang ditanya tampak bingung. "Ayo katakan iya. Kita akan satu sekolah kan?"
"Aku tidak tahu, sepertinya kita tidak satu sekolah" anak laki-laki itu tertunduk, mukanya pucat.
"Kenapa? Bukankah kita sudah berjanji jika kita sudah besar nanti, kita akan masuk ke SMA yang sama? Kau melupakan janjimu?" ia menggenggam kertas yang sedari tadi di pegangnya.
"Kau lupa dengan kertas ini? Aku masih menyimpannya" balasnya lagi.
"Ti..tidak. Bukan begitu Kamil. Aku hanya takut" Humam mencoba melihat wajah Kamil. Kamil menatapnya dengan geram.
"Takut apa? Kenapa?"
"Hmm.. Bun..bunda kemarin memanggilku selepas Ashar. Bunda bilang, dua minggu lagi aku akan diadopsi oleh orangtua angkatku. Aku sengaja tidak memberitahumu sampai aku benar-benar siap" mata Humam berkaca-kaca. Ia memegang ujung bajunya.
"Kenapa Humam, kenapa kau tidak mengatakannya padaku? Kenapa aku tidak diberi tahu?" Kamil semakin geram, firasatnya benar bahwa ia akan kehilangan sahabatnya.
"Aku hanya takut, aku takut kehilanganmu. Aku benar-benar belum siap. Aku tidak akan pernah lupa tentang surat itu. Tapi mau bagaimana lagi, aku tidak mungkin menolak permintaan Bunda. Bunda sangat baik terhadapku" tangisnya tertahan. Dihapusnya air mata yang semakin mengalir deras. Sebagai anak laki-laki ia tidak ingin terlihat cengeng terlebih didepan Kamil, sahabatnya.
"Lalu, bagaimana dengan aku? Kau akan meninggalkan aku sendiri"
"Tidak Kamil, kau akan selalu menjadi sahabatku. Percayalah, kita akan bertemu lagi suatu hari nanti. Aku tidak akan melupakan janji kita" Humam memeluk sahabatnya.
"Aku akan belajar yang rajin supaya nilaiku bagus, dan nanti aku akan menyusulmu masuk ke SMA yang sama."
"Ku pegang janjimu, kau sahabat terbaikku" Humam melapaskan pelukannya.
"Sudah, aku tidak ingin menghabiskan hariku hanya untuk bersedih. Ayo kita main" Kamil memukul pundak Humam dan berharap Humam kesal dan berlari mengejarnya.
"Siap dengan pukulanku??" balas Humam dan segera berlari menyusul Kamil.