Rabu, 03 Februari 2016

Dia Menetap Aku Memperjuangkan

Aku cukup tersenyum ketika mendapatimu tertawa karena dia. Lebih tepatnya, jika bersamanyanya kau akan lebih mudah tertawa sedangkan aku harus memikirkan cara apalagi yang harus kulakukan untuk membuat matamu berbinar. Sejak itu aku mulai mengerti, bagaimanapun usahaku tetap saja akan berakhir "aku bukan siapa-siapa". Sedetik aku teringat bagaimana ketika itu kau mengatakan kau menyanyangiku dan sedetik berikutnya aku mulai ragu dengan apa yang ku dengar. Aku tidak pernah berhenti berdoa kepada Tuhan agar memberikan yang terbaik untukmu, agar kau mendapatkan arti kebahagiaan yang sebenarnya, dan  agar Tuhan melunakkan hati yang seketika itu mulai mengeras. Tatapanmu tajam meneduhkan, namun kali ini aku tidak merasakannya lagi. Sesekali kau berubah menjadi orang lain, terlanjur hampir tidak aku mengenalinya. Aku mulai sadar pada bagian mana tiap kali kisah ini berulang, bahwa kesalahanku tidak mudah untuk dimaafkan. Aku tersenyum ketika kata-kata yang sama kau ucapkan padaku juga kau ucapkan kepadanya. Tidak ada yang dibeda-bedakan, katamu. Namun aku kira kau memang mengharapkan (sesuatu) itu hanya kepadaku. Nyatanya aku salah, mungkin aku terlalu melarutkan diri sehingga terwarnai oleh keadaan. Kesalahanku bertambah, dan sayangmu telah berkurang. Apa yang harus dilakukan? Serbuk dandelionku telah terbang terbawa angin, yang aku punya sekarang hanyalah tangkai yang mengering. Aku bertanya dalam diri, siapa engkau sebenarnya? Mengapa aku memperjuangkanmu? Sedangkan kau lebih memperjuangkan dia. Jika kau tidak ingin aku cemburu, tapi mengapa semua ada pada dia? Hal yang ku senangi, hal yang ingin ku berikan padamu sudah lebih dulu ada dalam genggamannya. Haruskah aku membenci apa yang telah lama aku senangi? Ku tahu, dia adalah nafas yang selalu kau hirup, sedangkan aku adalah hela. Dia yang telah lama menetap didasar hati, mengenalmu dengan baik dan lebih dulu. Tapi bukan berarti aku membencinya, hanya saja ketika kau bersamanya maka kau dapat dengan mudahnya melupakan aku. Jika kau tidak menyenangi kata-kataku ini, lalu bagaimana caramu menghargai apa yang telah aku perjuangkan? Ada yang menahan sakit, namun aku pura-pura tidak peduli agar kau juga mengira aku akan tetap baik-baik saja. Ini memang melelahkan, tapi ini memang harus ku lakukan agar ada kata "bertahan". Ku artikan engkau adalah sosok yang membimbingku. Semisal nantinya kau telah berubah, apa yang membuatku kuat? Dapatkah kau bertahan seperti apa yang ku lakukan? Bertahan bahwa memaafkan seseorang bukan hanya tentang berbuat baik pada orang lain, tetapi juga tentang menyembuhkan luka dalam hatimu sendiri. Maaf, tidak berniat melukakan. Aku menyayangimu.


amarahmu semalam masih belum kelar.
aku masih menunggu maaf yang tak kunjung disambut.