Selasa, 26 April 2016

Berantakan

Perjalanan panjang perlahan berawal dan pada satu sisi mulai berakhir. Bagaimana tidak, pada bagian mana lagi yang harus aku pungkiri bahwa sesungguhnya masa-masaku telah memasuki batas akhir. Aku mulai mahir memegang gelas berisikan kopi hangat, sedang pada awalnya aku hanya menyukai serpihan remahan kue. Ada masa yang harus aku lewati, atau lebih tepatnya aku harus melompat lebih jauh. Menelan setiap getir menusuk tulang. Sebentar lagi semua akan berubah, dia yang bersiap untuk pergi meskipun (katanya) tidak ada yang akan pergi. Seharusnya aku tak perlu repot-repot mengkhawatirkan segalanya. Kita, akankah lama?

"yang berubah hanya tak lagi ku milikmu..."

Sejak beberapa hari lalu aku telah memikirkan hal ini, aku menunggu datangnya malam seolah esok terlalu pahit untuk dilalui. Apa yang sebenarnya dicari? Apa yang sebenarnya ingin dikejar dan digapai? Kerelaan akan membawa kita pulang, jauh ke tempat kita bisa saling menyapa tanpa curiga. Kerelaan akan membawa kita kepada waktu, ketika satu tambah satu tak mesti jadi satu. Aku ingin berdua denganmu diantara daun gugur, membasahi wajah dengan tetesan hujan, dan berlari kecil setelah dandelion kita terbangkan. Sederhananya, aku ingin kau disini. Nyatanya selalu ada tanya yang cuma bisa dijawab oleh waktu.

Pagi ini ku awali dengan sebuah untaian doa yang ku panjatkan untukmu dan juga untukku. Aku sudah yakin benar bahwa ini akan dilalui, kau berdua bersamanya saat aku juga merasakan seseorang sedang menanti kedatangan seseorang yang lain. Tapi aku tahu bahwa akan ada dan pasti ada. Orang yang bisa menerimamu sedemikian rupa.

Dua hari yang lalu, aku bersiap memohon kepada Tuhan bahwa aku akan melewati sebuah masa dimana aku harus keluar dari sebuah zona nyaman. Lebih tepatnya aku akan memperlebar sebuah zona; nyaman. Tuhan, aku takut (kala itu), aku bukan tidak pernah meminta sesuatu yang terbaik tetapi aku hanya sedikit ragu. Tekadku telah bulat, bagaimanapun aku menghindar semua tetap akan terjadi. Aku berseru, kenapa terlalu cepat bahkan disaat yang bersamaan? Jika ikhlas adalah mengarahkan hati senantiasa hanya kepada sang Maha Penguasa dalam keadaan apapun, maka itulah yang aku lakukan saat itu tiba. Ku gantungkan semua harapan itu kepada-Nya. Hitungan jam, aku tak lagi peduli dengan apa yang aku khawatirkan. Aku mencoba terbiasa, terbiasa bahkan hingga pada akhirnya terlanjur biasa. Aku tahu akhirnya memang akan begini. Seseorang itu bertanya tentang matahari yang pasti terbit, dan aku menjawab seperti apa yang seharusnya. Lalu ia dengan senyumnya membalas semua dengan remeh-temeh. Mungkin iya jika ia tidak menginginkanku hadir dan biar dia yang menjagamu. Aku tidak peduli, karena aku hadir disana bukan hanya kemauanku tetapi kau yang memintaku hadir. Dia mungkin juga mencoba terbiasa, hanya saja sedikit banyaknya aku bisa mengerti. Memahami bahwa ini bukanlah satu hal yang terlampau mudah untuk dilewati, jika dia membantah berarti begitulah sifat yang ia miliki sebenarnya. Menurutku dia terlalu memincingkan mata, hingga semuanya merasa ditolak mentah-mentah. Aku paham benar bahwa tidak ada yang bisa sempurna dalam menerima, tetapi manusia mencoba mendekati kesempurnaan seharusnya. 


Dengarlah, tulisanku telah berantakan. Baca saja, terserah pada bagian mana kau merasa cukup dan berhenti membaca. Tapi terimakasih karena telah singgah.