Rabu, 26 November 2014

Lensa Satu Mata

Hati, telah terlatih untuk patah hati. Namun, tetap saja jatuh bukan sekali dua kali, berkali-kali menepi sendiri tanpa dapat dipungkiri.

Ada baiknya memang mencoba mundur, setidaknya sampai tanah yang basah mengering dengan sendirinya. Ada kepingan kaca yang tidak sengaja aku tabur, biar aku yang bersihkan. Tidak perlu kau memasuki lingkaran ini. Kita berbicara bukan lewat suara, hanya lewat rasa yang menguap diudara. Perlahan menetes mengaliri jalan yang berkelok. Tidak ada yang memaksa untuk bahagia, karena aku sendiri tidak tau keheningan yang melanda. Jika aku setega itu, sama saja seperti aku menyuruh seseorang yang pincang berlari ke rumah sakit, ataupun memaksa orang buta untuk menggambarkan sekelilingnya, kau yang memilih bukan aku.

Definisi aku, sangat sederhana. Seseorang yang tak ingin kau kenal, buku yang tak ingin kau baca, lagu yang tak ingin kau dengar, dan film yang tak ingin kau tonton. Aku adalah sebuah cerita yang tak pernah dipublikasikan, tapi aku adalah kebanggaan diriku. 

Ada sesuatu yang akan terus bertahan disana disaat semuanya berlalu dan berubah; kenangan. Mungkin ada yang ingin pergi diam-diam dan menangis dibawah hujan. -aku tidak suka dengan suatu keadaan dimana aku berada saat ini, tapi aku tetap diam. meski aku berbicara, ada diam yang ku simpan diam-diam-.

Semua hanya berantakan saja saat ini, tidak ada orang yang akan memahami perilaku semacam ini, tidak perlu juga orang lain tahu akan hal ini. Aku sengaja menulis dari potongan kalimat yang masih belum utuh. Siapa yang mau melarang?

~ Sebuah percakapan yang aku rasa cukup menjawab pertanyaan yang mengabu.

Nikmat apa lagi yang hendak didustakan ?

*Menepuk pundak*

Aku : Ada apa ?
Saya : Kamu nggak papa ?
Aku : Ha ? Im Fine ... hahahah emang ada yang aneh dengan aku ? Secangkir kopi dan lantunan lagu, nikmat apa lagi yang hendak aku dustakan, saudaraku ?
Saya : Hahahah kamu adalah aku, bagaimana saya tidak tahu apa yang terjadi dibalik senyumku.
Aku : .......
Saya : Kenapa kamu tidak menyapanya pagi ini ?
Aku : Aku menyapanya dalam do'a
Saya : Dan berharap dia menyapamu lebih dulu ?
Aku : Kind of ...
Saya : Hahaha katanya sahabat ? Lalu kenapa masih menyimpan gengsi satu sama lain.
Aku : Aku tidak gengsi ... Aku berani mengakui didepan dunia bahwa dia sahabatku. Aku hapal setiap perubahan kecilnya. Aku sanggup datang bahkan sebelum dia meminta. Aku selalu berusaha ada meski yang dia butuhkan hanya teman bicara.
Saya : Dan kau berharap dia melakukan hal yang sama ? Bukankah dengan cara seperti ini kamu menunggu dia meminta ?
Aku : Salahkah jika aku demikian ?
Saya : .... :) Boleh aku bertanya ? Apa beda seorang teman dan sahabat didalam dirimu ?
Aku : Sahabat berada diatas teman posisinya.
Saya : Kalau dia berada diatas teman lebih susah mana memaklumi kesalahan yang dilakukan teman atau yang dilakukan sahabat ?
Aku : ............
Saya : Apakah sahabat membutuhkan sebuah pengakuan sebagai sahabat ? Apakah sahabat harus merasa dianggap sahabat ? Bukankah yang dinamakan sahabat, berani menanggalkan semua egonya demi sahabatnya ? Bahkan melawan dunia sekalipun ? Jika kamu masih seperti sekarang ini .... jangan bilang kamu anggap dia sahabat. Bilang saja sebagai teman biasa. Memahami itu melampaui batas benar dan salah, itu yang selalu saya dengar dari mulutmu
Aku : .............
Saya : Apa yang kamu harapkan dari dunia yang mulai susah memaknai kata 'saling' ini, saudaraku ?

*Hening*

Aku : ............... Aku butuh kopi lagi. Kamu mau ?
Saya : Apa yang membuat kamu berpikir saya mau secangkir kopi ?
Aku : Karena aku tahu apa yang saya butuhkan.
Saya : Hahahahahahahah ya..ya.. ya..  bersama kamu, nikmat apalagi yang bisa saya dustakan ?

Dan seandainya hati ini telah dijatuhkan lagi, kuharap Tuhan tak akan menjatuhkannya pada yang mahir mematahkan. Lalu pergi begitu saja tanpa pernah mencoba untuk memungut kepingan hati yang telah hancur berantakan. 

Dari aku, sepotong tiramisu yang akan melumerkan berbagai rasa menjadi satu harmoni yang membuat candu; rindu~


0 komentar:

Posting Komentar