Kalau mereka mengatakan bertahan itu adalah hal yang bodoh,
maka akan ku lakukan sesuatu yang mereka anggap adalah kebodohan.
Tak ada yang berubah, begitu katamu. Akupun demikian, masih seperti ini. Ku ulurkan tangan ketika kau kembali kepangkuan berada dalam dekapan. Sosok yang tak pernah jauh dalam ingatan. Namun sayangnya hanya sekedar bias cahaya yang tak pernah bisa kujamah. Tawa renyah, perlakuan hangat dan tatapan yang tajam senantiasa selalu menenangkan. Apalagi yang tidak ku syukuri? Pernah suatu malam, aku memandang langit dan berharap kau juga disini bersamaku melihat hal yang sama. Kita berada disebuah beranda rumah dengan segelas kopi yang asapnya masih mengepul. Sesekali kita meneguknya bersama-sama. Aku dengan sepotong tiramisu dan kau masih dengan senyummu. Sesekali kita tertawa lepas, seolah hanya kita yang merasakan kebahagiaan ini. Tapi sayangnya mendung tiba-tiba datang diwaktu yang tidak tepat. Nyatanya kau telah menikmati semua ini lebih dari apa yang aku rencanakan bersama dia yang telah lama menetap didalam hidupmu. Aku tersenyum, karena bagiku luka-luka goresan ini sudah tidak berarti apa-apa dibandingkan dengan semua bahagiaku. Kau adalah kumpulan luka-luka yang paling ku cinta. Bahagiaku karena aku mengenalmu dengan caraku. Cara yang semua orang belum tentu mengerti. Aku tidak peduli seberapa besar sayang yang kau miliki dan seberapa besar sayang yang kau berikan padanya. Karena bagiku, semua yang aku terima ini sudah lebih dari cukup. Kau terlalu baik, sehingga mungkin aku harus berhutang budi karena kau telah memberikanku celah untuk merasakan bahagiaku. Aku tidak berharap banyak, hanya dengan sebuah sujud panjang yang kulakukan berkali-kali tanpa kenal lelah. Berharap kau akan menemukan bahagiamu kelak yaitu bahagia yang sebenar-benarnya. Karena aku tahu, aku bukanlah sepenuhnya bahagiamu. Aku adalah buku yang terkadang enggan kau baca, namun kau memilikinya. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, menurutku karena kamu adalah bahagiaku. Aku senang mendengarmu bercerita, tertawa, dan segala yang ada padamu. Jika aku boleh meminta, tetaplah tinggal direlung hati terdalam sekalipun kadangkala kau harus tenggelam. Jika sebuah pengorbanan itu berharga, maka semua akan aku lakukan untuk menyelamatkanmu. Tidak ada yang pergi dan meninggalkan, untuk kesekian kalinya kalimat itu ku ulangi. Semoga suatu hari, tanpa pernah diminta. Bukan perkara menuntut semua harus disamaratakan, karena aku memang paham benar bahwa semua tidak akan bisa disamakan. Ada bagian tersendiri dalam hidup yang hanya kau sendiri mampu menilai. Aku tidak berharap aku adalah dia, dia yang selalu membuatmu bahagia; bahagiamu. Aku cukup menjadi aku, yang meskipun tak ternilai tetapi aku pernah menjadi bahagiamu. Aku bahagia melihatmu bersamanya, karena kau sungguh beruntung memiliki orang yang tak hanya kau menyanyanginya namun dia juga menyayangimu lebih.
Surat ini kutulis dengan sisa senyumku malam ini, tinta penaku sudah habis. Dadaku sesak karena membayangkan suatu hari kau harus pergi dan aku akan sendiri. Selamat tidur untuk seseorang kuat dan luar biasa dalam membagi waktu untuk semesta dan jingga. Jangan bersedih, karena itu sudah cukup untuk membuatmu kembali berdiri. Walau tutur katamu tak seindah aksara pujangga, percayalah itu menenangkan. Senjaku..
"Aku hanyalah sebuah jeda dalam nafasmu, sementara dia adalah udara yang kau hirup dalam setiap hela."