"Do what you have to do until you can do what you want to do".
Dua puluh delapan desember, pukul dua puluh satu kurang empat. Bukan sekedar tulisan di penghujung akhir tahun, tetapi menjadi saksi bisu bahwa "terkadang, yang selalu ada akan tetap kalah dari yang lebih prioritas". Seperti rintik hujan yang membasahi dua kali dengan sedikit jeda sejak pagi tadi. Barangkali ada kepedihan yang hanya dengannya adalah cara melepaskan kebahagiaan pelan-pelan. Senyum getir, seolah baik-baik saja. Ruang itu telah dipenuhi sesak kekurangan oksigen. Denyut nadi tak lagi dalam irama dan mata yang seolah basah oleh air hujan.
Seandainya saja, lebih memahami dan menghargai. Sulit bertahan diposisi ini, namun sayangnya itu tidak berarti bagimu karena dengan mudahnya kau akan mengembalikan pernyataanku ini. Keadaan dimana harus tetap tersenyum dibalik tangis yang tertahan. Alasannya sederhana saja, aku tidak ingin matamu basah karenaku. Tapi siapa yang peduli? Jika yang ada telah pergi, mungkin pada saat itulah (mungkin) kau akan tersadar bahwa aku berarti (seharusnya). Aku yang meneriaki namamu dari kejauhan, dan ketika aku telah menghampirimu kau pun membalasnya dengan menyebut nama orang lain. Sedemikian inikah yang harus aku lalui? Kenyataan bahwa kau tidak menghargai kedatanganku. Atau ini hanya perasaanku saja (katamu), tapi bagaimana jika posisi kita ditukar? Raut muka seperti apa yang harus aku tunjukkan? Tersenyum manis, tetap berdiri tegak dan tangan yang tetap hangat? Sayangnya aku tidak mahir dalam hal itu. Lantas apalagi alasanmu untuk membuatku tetap tenang?
Nyatanya hidup itu memang selalu dipenuhi dengan kata ‘pilih’. Entah itu dipilih ataupun memilih. Semua orang berhak memilih apa pun yang bisa
membuatnya bahagia, sekalipun beban lukanya juga perih luar biasa.
Karena itu, berhentilah bertanya kenapa aku memilihmu. ~ dan aku sudah memilih, tapi aku belum dipilih. Aku tidak memilihmu, Tuhan yang mendekatkan kita, melalui perantara semesta. Namun kadang, aku merasa kau tidak benar-benar menginginkanku.