Senin, 28 Desember 2015

Wahai Tuan

"Do what you have to do until you can do what you want to do".

Dua puluh delapan desember, pukul dua puluh satu kurang empat. Bukan sekedar tulisan di penghujung akhir tahun, tetapi menjadi saksi bisu bahwa "terkadang, yang selalu ada akan tetap kalah dari yang lebih prioritas". Seperti rintik hujan yang membasahi dua kali dengan sedikit jeda sejak pagi tadi. Barangkali ada kepedihan yang hanya dengannya adalah cara melepaskan kebahagiaan pelan-pelan. Senyum getir, seolah baik-baik saja. Ruang itu telah dipenuhi sesak kekurangan oksigen. Denyut nadi tak lagi dalam irama dan mata yang seolah basah oleh air hujan.

Seandainya saja, lebih memahami dan menghargai. Sulit bertahan diposisi ini, namun sayangnya itu tidak berarti bagimu karena dengan mudahnya kau akan mengembalikan pernyataanku ini. Keadaan dimana harus tetap tersenyum dibalik tangis yang tertahan. Alasannya sederhana saja, aku tidak ingin matamu basah karenaku. Tapi siapa yang peduli? Jika yang ada telah pergi, mungkin pada saat itulah (mungkin) kau akan tersadar bahwa aku berarti (seharusnya). Aku yang meneriaki namamu dari kejauhan, dan ketika aku telah menghampirimu kau pun membalasnya dengan menyebut nama orang lain. Sedemikian inikah yang harus aku lalui? Kenyataan bahwa kau tidak menghargai kedatanganku. Atau ini hanya perasaanku saja (katamu), tapi bagaimana jika posisi kita ditukar? Raut muka seperti apa yang harus aku tunjukkan? Tersenyum manis, tetap berdiri tegak dan tangan yang tetap hangat? Sayangnya aku tidak mahir dalam hal itu. Lantas apalagi alasanmu untuk membuatku tetap tenang?


Nyatanya hidup itu memang selalu dipenuhi dengan kata ‘pilih’. Entah itu dipilih ataupun memilih. Semua orang berhak memilih apa pun yang bisa membuatnya bahagia, sekalipun beban lukanya juga perih luar biasa. Karena itu, berhentilah bertanya kenapa aku memilihmu. ~ dan aku sudah memilih, tapi aku belum dipilih. Aku tidak memilihmu, Tuhan yang mendekatkan kita, melalui perantara semesta. Namun kadang, aku merasa kau tidak benar-benar menginginkanku.




Jumat, 04 Desember 2015

Muak; Simple Tapi Ngena

"Aku "muak". Telah terlanjur tak dapat lagi terbenahi. Jika memang ada kata yang lebih menjengkelkan dari kata itu untuk mendefinisikan perasaanku saat ini, maka akan ku goreskan namamu yang membuat kata itu terlahir didalam pedihnya luka. Gurauanmu itu membuatku muak. Hidup tak sebercanda itu." kata seseorang dengan bekas memar dipelipis matanya. Tak berair mata, hanya saja sedikit basah dikarenakan debu (katanya). Sebuah notes merah dan pena bertinta hitam masih dalam genggamannya. Kertas putih itu mulai lusuh karena sedari beberapa menit yang lalu ia sibuk membolak-baliknya. Tidak ada satupun kata tertulis, yang ada hanya kata "muak" berputar dikepalanya.

Sedikit suasana baru, pikirnya. Bukan berarti tidak mensyukuri nikmat yang telah Tuhan beri. (Nikmat Tuhan mana lagi yang kamu dustakan?) Hanya saja, terlalu berbau amis. Daging-daging berserakan dijalanan, tak ada yang memunguti atau memindahkannya ke tong sampah. Ratusan lalat berterbangan seolah sedang merayakan hari kemenangan. Bungkusnya masih rapi dengan kantung plastik berwarna hitam, hanya sedikit sobekan disebelah sisinya. Mungkin begitulah ia mendeskripsikan semuanya. Semua yang telah ia pelajari dan lewati. 

Sebulan, dua bulan dan pada bulan berikutnya adalah waktu dimana cukup mudah untuk menebak dan mengetahui bagaimana permainan licik seseorang yang lain. Seseorang? Ataukah seseorang itu sedang bersama dengan seseorang lainnya yang mempunyai kelicikan yang sama? Oh Tuhan, bagaimana jika ia yang berdosa karena mereka. Seharusnya ia berdoa untuk kebaikan mereka agar mereka sadar bahwa mereka yang dewasa akan tau bagaimana cara menyikapi dan mengatasi masalah. Tanpa harus berkata "aku marah", cukup pahami saja bahwa diamnya adalah amarahnya.

Akan ada titik muak untuk keyakinan sekalipun. Jangan salahkan ia jika sejenak ia berpikir bahwa ia kejam. Bagaimana tidak? Apa yang dicari? Ada saatnya ketika seseorang menjadi muak terhadap orang yang mempermasalahkan sesuatu yang remeh-temeh pula. "Seandainya terdapat kata yang lebih mendalam dibanding sekedar “lelah” dalam kamus, benarnya, mungkin kata itu lebih kuhayati dan terasa." Benar bahwa, saat orang lain iri dengan kita, itu artinya kita jauh lebih sukses dari mereka. That's simple. Omong kosong yang sebenarnya tidak perlu didengar lagi, terlalu sering dan semakin muak. Berkali-kali mengulangi, tanpa pernah paham ada seseorang yang telah dilukai. Jika status sosial-media telah tertulis, maka entah siapa saja yang kan merasa (begitu nyatanya). Bukan memperbaiki, tapi malah dengan bangganya mengumbar segalanya kepada siapa saja yang sebenarnya tidak berhak tau. Dipercayai, dihormati, karena memang seharusnya begitu. Namun disayangkan, sikap telah menggambarkan siapa sebenarnya seseorang yang sedang bersama seseorang lainnya itu. Memeluk lebih erat, agar pisau akan menusuk lebih dalam. Tuhan, lindungilah aku dari segala mara bahaya yang menimpaku, baik yang ku ketahui atau tidak ku ketahui. Nikmati saja~


Tapi. Pun. Berlian didalam lumpurpun tetap akan bersinar.