Selasa, 27 Oktober 2015

Menjingga

Kepada sebuah rasa yang kusebut rindu. Teruntuk rindu yang kunamai engkau. Tidak ada yang lebih menghangatkan selain berdua denganmu seperti kita yang tengah duduk pada sebuah beranda. Berbagi pikiran tentang segala apapun yang ada didunia ini. Entah sesuatu yang kecil maupun besar, entah itu penting ataupun hanya sekedar obrolan ringan mengundang tawa. Karena memang tidak ada yang lebih menghangatkan selain bisa membicarakan banyak hal, tanpa takut kehabisan waktu, tanpa takut kehabisan topik, bahkan takut pada kebosanan.

"Pada akhirnya hati akan jatuh pada yang paling bisa menerima kekurangan. Pencarian akan berhenti pada yang paling besar penerimaannya. Dia yang tidak bisa menerima kurangmu, tidak layak menerima hebatmu."

Tidak ada tatap yang lebih menggetarkan dari tatap mata tanpa kata-kata jeda. Hanya eratnya genggaman tangan dan selengkung senyuman. Tapi saling memahami isi hati masing-masing. Sebuah kenyamanan yang tanpa rekayasa dan kebersamaan yang sederhana. Suatu saat nanti aku akan merindukan, perihal menungguimu dari pagi hingga senja menyapa, lalu terlihat sangat bahagia ketika melihat kedatanganmu.
"Saat itu hujan turun, dan tak ada yang tahu ketika mataku ikut basah. Kamu tidak sempurna, pun bukan yang terbaik untukku, tapi kamu satu kata diatasnya ~Selamanya."

Kita hanyalah dua pasang bola mata, saling menatap sesekali meneteskan air mata. Aku ingin sekali lagi melihat keindahan kedua bola matamu. Hanya untuk memastikan bahwa aku masih ada disana, dan selalu ada disana.
"Ada satu titik dimana kita merasa sayang yang begitu besar. Disaat kita saling menatap, meski aku hanya menatap dari kejauhan tapi aku bersyukur. Karena kita selalu bercerita banyak hanya dengan bertatap mata".

Pada senyumanmu, kutemukan senyumku. Pada tatap matamu, kutemukan teduhku. Pada pelukanmu, kutemukan hangatku.~


Kamis, 15 Oktober 2015

Membiru

Pada suatu waktu, ada rindu yang terkekang menjadi tawanan. Hingga akhirnya kumpulan merak tak lagi mengepakkan sayap. Hujan yang turun tak mampu meneduhkan mata bahkan hati. Derasnya mengalahkan rindu, berkecamuk dengan segala aroma sendu.


Ku tahu suatu hari akan datang segala masa. Bagaimana seseorang merah, jingga hingga kelabu. Tak ada satu frasa lagi yang dapat mewakili, bahkan denyut nadi tak lagi dalam melodi. Tuhan tahu bagaimana segala sesuatu, hanya saja manusia tidak pandai memahami. Haruskah sepsang peri menyatukan sayapnya? Bagiku pertanyaan semacam ini tidak perlu dijawab. Mengapa? Karena perasaan tidak selamanya membutuhkan teori yang banyak, hitungan yang matang bahkan perlakuan yang berlebihan. Semua; segalanya sudah terbungkus rapi dalam sebuah kotak rahasia yang kusebut hati. Bagaimana bisa mencintai hujan jika untuk merindukan kehadirannya saja kau enggan?


Lalu, pada episode berapakah semuanya harus dimulai bahkan berakhir? Ada ilalang yang terpijak dibagian sana, hanya saja jeritan suaranya tak pernah terdengar. Tapi tangisannya tidak berarti apa-apa jika ia tidak mencoba bangkit dan berdiri.


***


Dalam sebuah frasa kutemukan candu yang membeku kelabu bahkan membiru. Sinarnya biasa, tak lagi mengundang tanya. Siapa dia? Bagaimana bisa semuanya terlanjur biasa? Ampas kopi sore ini tidak mengartikan apapun, tetap mengendap bersama sisa gula yang tak ikut larut. Bisakah keduanya bersatu? Kadang, diam tidak mengartikan apapun. Sayangnya aku tidak mahir dalam menerka. Jika semua telah dianggap sama, bagaimana jika ku tawarkan kita akan membahas ini kembali? Mungkin tidak ada lagi yang harus diperjelas, kacamataku telah jatuh dan pecah. Tapi dialog antara kita yang membuat rindu. Senja hampir berakhir, sedangkan kita masih larut dalam pikiran masing-masing. Pada bagian mana telah menorehkan luka? Sudahi jika memang kau sudah tak menikmatinya lagi.~