Kamis, 07 Juli 2016

Untuk Mama, Aku Pulang

Aku masih saja terburu-buru. Masih banyak hal yang harus aku persiapkan, pikirku. Disudut kamar masih ada kardus kosong yang seharusnya sudah terisi sejak pagi tadi. Baju-baju yang berserakan diatas kasur, kain yang masih dalam mesin cuci, tas yang mulai sesak meskipun satu koper lainnya sudah terisi. Tetapi tetap saja pekerjaanku belum selesai. Padahal ini bukan kali pertama aku seperti ini. Handphone terus berdering, sudah enam panggilan tak terjawab. Aku melirik (lagi) ke layar, disana tertulis nama "mama". Dengan malas aku mengangkat dering yang ketujuh, langsung terdengar suara mama dari ujung sana. Udah dimana nak? Udah berangkat? tanya wanita tua yang aku panggil mama. Mama masih saja khawatir, sama sepertiku yang masih saja berkutat dengan tugas-tugas ini. Aku diam sejenak kemudian meminta mama untuk tetap sabar menunggu. Aku tahu mama rindu, mama ingin anaknya segera sampai dan memeluknya. Tapi, sabar untuk sebentar karena ini juga untuk mama.

Satu jam berlalu, aku kembali merogoh tas dan mengambil sebuah dompet. Ada sebuah kotak kecil didalamnya, mataku mulai sedikit basah. Sebuah perhiasan dan selembar kertas surat cinta untuk mama. Aku bersandar ditempat tidur dan membaca ulang. Ma, aku rindu.
Ma.. Adek punya sebuah surat kecil untuk mama. Mungkin ini nggak berarti apa-apa dibandingkan semua hal yang udah mama lakuin terutama dalam hidup adek. Ma, kita pernah hidup berbatas jarak ratusan kilometer jauh dari tempat kita biasa berkumpul. Kadang itu membuat rindu menusuk hati. Disaat adek benar-benar terpuruk, adek berharap ada mama disisi adek. Tapi Allah pasti punya cara tersendiri untuk membuat hamba-Nya lebih kuat & tegar. Ma.. Ada sesuatu yang mau adek kasih untuk mama. Mungkin sebenarnya mama juga bisa beli barang itu dengan uang mama. Mama bisa dengan mudah pilih sesuai yang mama mau, bahkan lebih bagus dari yang adek bisa kasih ke mama. Ma, mungkin harganya memang nggak seberapa, bentuknya yang sederhana juga kecil. Tapi mama harus tau satu hal kalau ini adek beli dengan uang yang adek dapat dari hasil kerja keras adek. Mama nggak perlu tau adek dapat uang dari mana, yang pasti uang ini halal dan bukan dari hal yang aneh-aneh. Ma, maaf kalau adek belum bisa kasih ke mama suatu hal yang berharga dan suatu hal yang mama impikan sejak lama. Lewat barang yang kecil ini, adek berharap sama Allah suatu hari adek bisa bawa mama naik haji bahkan adek berharap kita bisa sama-sama kesana. Semoga mama suka dengan hadiah kecil dari adek, mama pasti jadi lebih cantik meskipun sebenarnya mama adalah wanita tercantik pertama yang adek kenal sejak lahir. Ma.. semoga mama selalu dalam lindungan Allah & sehat wal afiat. Adek sayang mama.
Aku tersenyum, mataku tak lagi basah. Ma, sebentar lagi aku sampai. Ku langkahkan kaki perlahan menuju pintu. Tok, tok, tok. Assalamu'alaikum. Sesaat ada suara balasan dari balik pintu. Pintu dihadapanku terbuka, aku tersenyum lagi. Ada mama dihadapanku, aku memeluknya dan berbisik. Ma, adek pulang.


Jumat, 24 Juni 2016

Meringis

Kadang menjadi tidak tahu itu lebih menenangkan. Sudah sejak dua bulan lalu aku berhenti menulis, tetapi malam ini aku terlanjur rindu untuk sekedar menyapa. Hai. Sesekali aku berlatih diam, hanya dengan diriku saja. Namun sayangnya imajinasiku tidak berhenti. Seseorang diam, bukan berarti dia tidak merasa apa-apa. Dia tengah menunggu, menunggu untuk ditanya atau diinginkan lebih dulu. Hanya satu alasan klasik, takut diabaikan. Seseorang diam, bukan berarti dia tidak berusaha apa-apa. Kadang dia tengah bingung. Bingung harus menghampiri atau diam di tempat. Tapi setidaknya dia memikirkanmu. Seseorang diam, bukan berarti tidak peduli. Dia terus mencari cara untuk tidak tampak berlebihan di depanmu. Sulit baginya memandangmu seperti orang lain, karena bagian tersedihnya adalah dia takut kamu pergi. Seseorang diam, bukan berarti tidak rindu. Seseorang itu adalah aku dan diam adalah keahlianku. @kunamaibintangitunamamu

Kepada malam aku terus bercerita. Aku pernah menjaga malam disaat kau sibuk terpejam. Mendoakan sampai kau masih belum terjaga. Kubariskan kalimat indah pada tiap-tiap pintalannya, bagaimana aku memohon kepada Tuhan agar keadaan kembali membaik. Karena sebelumnya diantara kita sudah pasti ada yang terluka, bahkan aku yang menjadi sangat terluka. Meringis tertunduk dalam sajadah lusuh yang aku cintai sebagai penghubung antara aku dan Sang Pencipta. Aku tahu Tuhan pasti mendengar semua doaku tanpa aku meminta didengarkan sebelumnya. Biarlah jika memang harus begini, hapus semua kesedihan dan tenangkan aku sampai tiba batas akhirku. Tuhan, bagaimana aku akan berdiri tegak sedangkan untuk bersandar saja itu tidak mungkin. Tuhan, bagaimana aku bisa melihat senyum dari kedua orangtuaku jika aku masih saja terus begini. Tuhan, bagaimana aku kuat dalam setiap keadaan aku harus ditempa berkali-kali. Tuhan, seharusnya aku tidak akan pernah bertanya perkara ini. Karena seiring waktu aku akan menemukan jawabannya sendiri.


I know Allah will always here ❤️… Semua tangis, semua sedih akan ada balasan terbaik.

Selasa, 26 April 2016

Berantakan

Perjalanan panjang perlahan berawal dan pada satu sisi mulai berakhir. Bagaimana tidak, pada bagian mana lagi yang harus aku pungkiri bahwa sesungguhnya masa-masaku telah memasuki batas akhir. Aku mulai mahir memegang gelas berisikan kopi hangat, sedang pada awalnya aku hanya menyukai serpihan remahan kue. Ada masa yang harus aku lewati, atau lebih tepatnya aku harus melompat lebih jauh. Menelan setiap getir menusuk tulang. Sebentar lagi semua akan berubah, dia yang bersiap untuk pergi meskipun (katanya) tidak ada yang akan pergi. Seharusnya aku tak perlu repot-repot mengkhawatirkan segalanya. Kita, akankah lama?

"yang berubah hanya tak lagi ku milikmu..."

Sejak beberapa hari lalu aku telah memikirkan hal ini, aku menunggu datangnya malam seolah esok terlalu pahit untuk dilalui. Apa yang sebenarnya dicari? Apa yang sebenarnya ingin dikejar dan digapai? Kerelaan akan membawa kita pulang, jauh ke tempat kita bisa saling menyapa tanpa curiga. Kerelaan akan membawa kita kepada waktu, ketika satu tambah satu tak mesti jadi satu. Aku ingin berdua denganmu diantara daun gugur, membasahi wajah dengan tetesan hujan, dan berlari kecil setelah dandelion kita terbangkan. Sederhananya, aku ingin kau disini. Nyatanya selalu ada tanya yang cuma bisa dijawab oleh waktu.

Pagi ini ku awali dengan sebuah untaian doa yang ku panjatkan untukmu dan juga untukku. Aku sudah yakin benar bahwa ini akan dilalui, kau berdua bersamanya saat aku juga merasakan seseorang sedang menanti kedatangan seseorang yang lain. Tapi aku tahu bahwa akan ada dan pasti ada. Orang yang bisa menerimamu sedemikian rupa.

Dua hari yang lalu, aku bersiap memohon kepada Tuhan bahwa aku akan melewati sebuah masa dimana aku harus keluar dari sebuah zona nyaman. Lebih tepatnya aku akan memperlebar sebuah zona; nyaman. Tuhan, aku takut (kala itu), aku bukan tidak pernah meminta sesuatu yang terbaik tetapi aku hanya sedikit ragu. Tekadku telah bulat, bagaimanapun aku menghindar semua tetap akan terjadi. Aku berseru, kenapa terlalu cepat bahkan disaat yang bersamaan? Jika ikhlas adalah mengarahkan hati senantiasa hanya kepada sang Maha Penguasa dalam keadaan apapun, maka itulah yang aku lakukan saat itu tiba. Ku gantungkan semua harapan itu kepada-Nya. Hitungan jam, aku tak lagi peduli dengan apa yang aku khawatirkan. Aku mencoba terbiasa, terbiasa bahkan hingga pada akhirnya terlanjur biasa. Aku tahu akhirnya memang akan begini. Seseorang itu bertanya tentang matahari yang pasti terbit, dan aku menjawab seperti apa yang seharusnya. Lalu ia dengan senyumnya membalas semua dengan remeh-temeh. Mungkin iya jika ia tidak menginginkanku hadir dan biar dia yang menjagamu. Aku tidak peduli, karena aku hadir disana bukan hanya kemauanku tetapi kau yang memintaku hadir. Dia mungkin juga mencoba terbiasa, hanya saja sedikit banyaknya aku bisa mengerti. Memahami bahwa ini bukanlah satu hal yang terlampau mudah untuk dilewati, jika dia membantah berarti begitulah sifat yang ia miliki sebenarnya. Menurutku dia terlalu memincingkan mata, hingga semuanya merasa ditolak mentah-mentah. Aku paham benar bahwa tidak ada yang bisa sempurna dalam menerima, tetapi manusia mencoba mendekati kesempurnaan seharusnya. 


Dengarlah, tulisanku telah berantakan. Baca saja, terserah pada bagian mana kau merasa cukup dan berhenti membaca. Tapi terimakasih karena telah singgah.


Sabtu, 12 Maret 2016

Ada Satu Orang

Waktu menunjukkan pukul delapan belas lebih enam menit. Kuputar lagu yang menjadi latar kisahku saat ini. Awalnya kukira ini terlalu bodoh, tapi apa yang bisa dilakukan dari seseorang yang hatinya sedang meragu. Mengapa harus dirimu? Tanyaku dalam hati. Lagi-lagi karena sebuah jarak antara kita. Kadang memang seharusnya jangan terlalu dekat, sebab nanti akan banyak kekecewaan. Tuhan akan cemburu dan memberi sekat dihati. 

Kurogoh saku bajuku, aku yakin secarik kertas itu masih disana. Ada sebuah nama yang memudar namun tetap membekas. Kutarik nafas dalam-dalam, kuhela dengan panjang. Jenuh?? Aku percaya selalu ada titik jenuh dalam hidup semua orang. Titik dimana kau hanya ingin berhenti sesaat. Lari dari tanggung jawabmu, lari dari kepribadianmu yang seharusnya membuat orang lain merasa senang berada di dekatmu. Di mana kau benci dengan segala macam rutinitas yang monoton, yang kau jalani berulang-ulang selama berbulan-bulan. Di mana kau sudah lelah beradaptasi agar diterima oleh mereka yang di sekelilingmu, yang sayangnya tak pernah bisa menyajikan hati yang tulus buatmu. Di mana kau ingin sekali membunuh orang-orang itu; mereka yang telah menyakitimu. Sayangnya, itu hanya bisa kau lakukan didalam mimpi. Kulihat sekali lagi secarik kertas yang kini dalam genggaman. Hatiku berdegup, akankah semua menghilang dari apa yang kubayangkan? 


"Lelah aku pada setiaku. Capek itu biasa, lelah itu wajar, kalau jenuh istirahat dulu, tapi bukan untuk menghindar."


Sedih bukan lagi hal yang tabu. Ada hal yang harus mereda; ego. Hanya yang memahami yang bisa melapangkan hati. Aku cukup berdiri tegar ketika nama itu lagi-lagi disebut. Bukan namaku, sedikitpun tak ada yang berhubungan denganku. Aku tersenyum, secepat itu semua berubah kearah lain. Seperti busur panah yang terkadang dikira tepat, tetapi melesat jauh dari titik fokus. Jariku tersayat, hatiku ikut berdarah. Siapapun yang akan membaca tulisan ini, aku yakin tidak akan ada yang bisa dengan tepat memahami perasaanku. Teruntuk kau, kau yang diam-diam mencari tahu tentangku melalui segala sesuatu yang entah apa itu. Namamu selalu disebut, tenanglah. Aku tak mengusikmu, semoga saja kau memang benar membaca ini. Jangan langsung menolehkan wajah, lihat aku lebih dalam. Bisakah kita berdiskusi sedikit tentang kisah kita? Kau tak ingin berbagi? Aku tak pernah meminta untuk menukar sebuah posisi, aku tak pernah meminta untuk ada jarak diantara kita. Namun aku hanya ingin mengertilah aku sedikit saja. Aku yang menjaga hatiku dan hatinya agar tak ada yang terluka, terlebih aku juga menjaga hatimu. Kau yang disebut namanya. Aku bahagia karena kau selalu membuat dia tersenyum, tapi mungkin ada sedikit ruang kosong yang bisa aku tempati untuk membuat dia bahagia (juga); dengan caraku. Dia memang berarti untuk masing-masing kita, tapi Tuhan tidak mungkin mentakdirkan sesuatu jika itu adalah sebuah kesia-siaan. Tersenyumlah, kau tak akan pernah terganti sekalipun untuk saat ini aku selalu bersamanya. Kau yang selalu disebut namanya. Mungkin suatu hari nanti akan tiba sebuah masa.

Sejak pertama kisah seperti ini hadir didalam kehidupanku, sejak itulah aku pikir kapan semua akan berakhir dengan happy ending? Berkali, bahkan aku terlanjur muak jika harus mengingat kisah yang sama. Aku cukup takjub kisah ini terulang lagi. Dengarkanlah, tak ingin kuhalangi kau untuk berbahagia. Karena hanya dengan melihatmu berbahagia, maka ketika itulah aku merasa bahwa diriku berarti. Hanya itu yang bisa dilakukan setangkai dandelion kecil yang terbang terbawa angin. Namun sayangnya, dandelionku perlahan mati. Tak lagi bernafas hidup, membusuk dibalik semak. Sejumlah doa aku panjatkan tetapi benar bahwa jika Tuhan tidak mentakdirkan sesuatu, maka tidaklah sesuatu itu akan selamanya. Maaf untuk sebuah bahu yang ku pinjam, karena terkadang aku butuh sebuah sandaran. Menceritakan sebuah perjalanan sampai akhirnya aku membutuhkan tempat bersandar. Sekarang, aku menunggumu walau kau mengabaikanku. Tapi, jika aku yang pergi nanti, apakah kau akan menungguku kembali? Atau akulah yang menunggu kau untuk memintaku kembali? Terasa sama saja. Ah, lupakanlah. Karena nyatanya apapun yang telah kulakukan dan perjuangkan tak akan mengubah keputusanmu. Bahwa kau yang akan pergi meninggalkan. 


"Kadang. Hanya orang-orang yang kuat yang mampu menuliskan kesedihannya."


Aku ingin kau percaya satu hal dari ribuan yang pernah kuceritakan. Ketika hatimu berada pada sudut paling sepi dan tersakiti, ingatlah setidaknya ada satu orang yang melihatmu sebagai seorang luar biasa yang pantas bahagia. Ada satu orang yang cara pandangnya kauisi, kaupengaruhi. Ia ingin kau berdiri.


Catatan untuk kau yang diam-diam men-stalking:
Terimakasih untuk waktu yang bisa kau bagi denganku untuk bersamanya. Aku belajar banyak darimu dan dia. Aku paham, ini tidak mudah untuk dijalani. Aku pernah berada diposisimu, juga dia. Tidak mudah, tapi bisakah kita meredakan ego sedikit saja? Coba lihatlah aku dari sudut pandang lain, dengan kacamata yang lebih pas tentunya. Tak perlu merasa hati tersayat, namaku tak ada dalam harinya. Dia selalu menyebut namamu, dia bangga terhadapmu. Engkau yang telah lama dan selalu mengisi hatinya. Aku cukup berbesar hati, karena sesungguhnya aku bukanlah siapa-siapa dan akan berakhir dengan serupa. Dia menginginkan aku tak lagi didalam hidupnya, jadi sudah semestinya kau bisa berbahagia. Tak ada yang merasa terbagi, seluruh waktu tetap untukmu. Waktuku bersamanya hanya sebatas dia menginginkanku disuatu waktu bukan setiap waktu. Kau adalah nafas yang selalu dihirup olehnya, sedangkan aku hanyalah jeda. Entah nantinya kau membaca ini atau tidak, tapi jika suatu hari nanti kau telah membaca tulisan ini. Tidak ada lagi yang mengusik perasaanmu, kau cukup berbahagia. Semoga suatu hari, kita bisa melukis bahagia bersama tanpa ada yang merasa tersakiti satu sama lain. ~

Rabu, 02 Maret 2016

Semogaku

"Sedetik kemudian seseorang telah berubah menjadi orang lain."

Wahai Allah, tidak ada yang lebih bahagia selain bersujud kepada-Mu. Wahai Allah, peluklah aku sebentar, aku lelah dengan semua ini.  Aku terlalu lelah mengejar, tetapi dia terlalu lugu untuk sadar.

Sedetik kemudian aku tersadar, pintu itu baru saja dibanting cukup keras. Aku terdiam, dunia seperti apa yang sedang aku singgahi? Jejaknya menghilang dibalik tirai, dibawa oleh sapuan angin yang menusuk kedalam pori-pori. Kuyupku telah menggigil, ada yang disayangkan karena langit turut mewakiliku menumpahkan air mata. Aku sedikit ragu, apakah hatimu ikut kuyup atau tandus dari rindu? Mungkin kiranya, ketika kau disana adalah tempat dimana rindu lahir, dan disini (bersamaku) adalah tempat mendewasakan rindu. Entahlah, aku tak punya teori yang cukup untuk itu. Izinkan aku pergi katamu, lalu seolah kau mulai memeluk kenangan. Sementara aku terus mencarimu dalam rasa sakit atas penyesalan yang tak kunjung teduh. Kita berdua diantara kata yang tak terucap. Aku kira kamu adalah jawaban, tetapi aku bukanlah tatap meneduhkan yang lebih menenangkan. Adakalanya kamu akan membenci seperti ini, balutan sapu tanganku telah terbuka dilengan kananmu. Lukamu telah membaik, hanya saja ada bagian lain yang telah terluka lagi. Biarkanlah diriku tenang, mungkin itu yang kau butuhkan sekarang. Tidak ada sebuah deringan, sepucuk surat, bahkan sekelebat bayangan. Seolah sejenak berdamai dengan hati. Bagaimana jika aku tetap percaya bahwa sebenci-bencinya seorang pencinta, akan selalu ada rindu dalam hatinya. 

Mencintaimu dalam diam, adalah sebuah perjalanan tanpa pamrih. Aku mencintai diriku, yang mencintai kamu tanpa harus kamu coba mengerti. Karena hidup tidak sepenuhnya seperti apa yang kita inginkan. Aku tak punya sebuah hadiah yang bisa kulingkarkan ditanganmu, aku tak punya payung yang meneduhkanmu pada sebuah waktu, aku tak punya selembar kain untuk menyeka air matamu. Aku hanya memiliki jutaan sayang yang aku sendiri tak mampu dan tak tahu bagaimana mengatakannya. Aku redam jutaan rindu, yang tak mampu aku ungkapkan. Aku menyayangimu dalam diamku. Tak bersuara, tapi akan selalu ada. Jika kata rindu ini kutulis, entah berapa banyak halaman yang tertulis. Kutunggui malam berganti hari, berharap hujan turun deras sekali sehingga tak ada yang mendengar deru suara parauku. Bersujud menghafal doa sendiri, terisak menyuarakan rindu menggebu. Doaku masih tetap sama, setiap kali melihat senyum manis dibawah tatapan mata yang indah itu aku meminta, semoga kau selalu berbahagia. Lalu diantara permintaan doa itu, kuselipkan sedikit harapan. Semoga dikemudian hari aku adalah alasan mengapa kamu -atau kita- berbahagia. Maaf, aku khilaf (lagi) meminta waktumu untuk menemaniku. Namun aku punya cara untuk menikmatimu dari jarak yang tetap terjaga, pun aku mempunyai cara untuk membalas pesanmu, meski kau tak akan pernah mendengar apalagi melihatnya. Menyebut namamu dalam gelombang alpha menjelang fajar dengan doa-doa yang mengakar. Love is verb.~


Ada yang merinduimu, ingin bertemu disepertiga malam terakhir. Kau siap bertemu? 

Rabu, 03 Februari 2016

Dia Menetap Aku Memperjuangkan

Aku cukup tersenyum ketika mendapatimu tertawa karena dia. Lebih tepatnya, jika bersamanyanya kau akan lebih mudah tertawa sedangkan aku harus memikirkan cara apalagi yang harus kulakukan untuk membuat matamu berbinar. Sejak itu aku mulai mengerti, bagaimanapun usahaku tetap saja akan berakhir "aku bukan siapa-siapa". Sedetik aku teringat bagaimana ketika itu kau mengatakan kau menyanyangiku dan sedetik berikutnya aku mulai ragu dengan apa yang ku dengar. Aku tidak pernah berhenti berdoa kepada Tuhan agar memberikan yang terbaik untukmu, agar kau mendapatkan arti kebahagiaan yang sebenarnya, dan  agar Tuhan melunakkan hati yang seketika itu mulai mengeras. Tatapanmu tajam meneduhkan, namun kali ini aku tidak merasakannya lagi. Sesekali kau berubah menjadi orang lain, terlanjur hampir tidak aku mengenalinya. Aku mulai sadar pada bagian mana tiap kali kisah ini berulang, bahwa kesalahanku tidak mudah untuk dimaafkan. Aku tersenyum ketika kata-kata yang sama kau ucapkan padaku juga kau ucapkan kepadanya. Tidak ada yang dibeda-bedakan, katamu. Namun aku kira kau memang mengharapkan (sesuatu) itu hanya kepadaku. Nyatanya aku salah, mungkin aku terlalu melarutkan diri sehingga terwarnai oleh keadaan. Kesalahanku bertambah, dan sayangmu telah berkurang. Apa yang harus dilakukan? Serbuk dandelionku telah terbang terbawa angin, yang aku punya sekarang hanyalah tangkai yang mengering. Aku bertanya dalam diri, siapa engkau sebenarnya? Mengapa aku memperjuangkanmu? Sedangkan kau lebih memperjuangkan dia. Jika kau tidak ingin aku cemburu, tapi mengapa semua ada pada dia? Hal yang ku senangi, hal yang ingin ku berikan padamu sudah lebih dulu ada dalam genggamannya. Haruskah aku membenci apa yang telah lama aku senangi? Ku tahu, dia adalah nafas yang selalu kau hirup, sedangkan aku adalah hela. Dia yang telah lama menetap didasar hati, mengenalmu dengan baik dan lebih dulu. Tapi bukan berarti aku membencinya, hanya saja ketika kau bersamanya maka kau dapat dengan mudahnya melupakan aku. Jika kau tidak menyenangi kata-kataku ini, lalu bagaimana caramu menghargai apa yang telah aku perjuangkan? Ada yang menahan sakit, namun aku pura-pura tidak peduli agar kau juga mengira aku akan tetap baik-baik saja. Ini memang melelahkan, tapi ini memang harus ku lakukan agar ada kata "bertahan". Ku artikan engkau adalah sosok yang membimbingku. Semisal nantinya kau telah berubah, apa yang membuatku kuat? Dapatkah kau bertahan seperti apa yang ku lakukan? Bertahan bahwa memaafkan seseorang bukan hanya tentang berbuat baik pada orang lain, tetapi juga tentang menyembuhkan luka dalam hatimu sendiri. Maaf, tidak berniat melukakan. Aku menyayangimu.


amarahmu semalam masih belum kelar.
aku masih menunggu maaf yang tak kunjung disambut.

Rabu, 20 Januari 2016

Ketahuilah

Tuhan, seberapa jauh lagi perjalanan yang harus aku tempuh untuk meyakini hati seseorang? Meyakini bahwa menyanyanginya sesengguhnya benar hanya karena-Mu. Bahwa semua adalah omong kosong baginya, sudah terlalu memekakkan telinga, bosan dan bahkan semua tak berarti apa-apa. Sayangnya (mungkin) hanya berlaku kepadaku. Dengan mudahnya dia tertawa dengan seseorang disana, padahal dia tahu benar bahwa seseorang lain sedang terluka disini. Kisah ini memang belum setengah abad, tapi apakah ada yang salah dari semuanya? Jika memang benar ini hanya perkara kasihan, bagaimana jika ini aku kembalikan kepadamu? 


Selagi aku mampu bertahan hanya dengan berdiam diri maka diamlah. Dengan berdiam diri itu sudah mampu membuktikan aku kuat. Mungkin terlalu banyak berharap kepadamu menjadi dasar kesedihan ini. Aku tak berani menjanjikan apapun kepadamu, aku hanya bisa pura-pura tersenyum agar aku tak perlu menjelaskan mengapa aku bersedih. Bagiku, ini sudah lebih dari cukup jika dibandingkan kau harus menangisi aku. 

Senin, 04 Januari 2016

Dirindu


"Beradalah di posisiku. Mungkin kau akan lebih mengerti tentang abu-abu yang mengelilingiku; melepaskan atau mempertahankanmu." *kutipan satusenja

Sudah 7 hari berlalu hanya dengan menggenggam bayangmu. Melewati semua dengan sisa remahan kue yang berserakan disudut kamar. Nadiku sumbat, pikiranku cacat. Tiga benda yang membuat candu tak berarti apa-apa; membosankan. Kuhirup aroma kopi basi yang seharusnya sejak semalam sudah ku nikmati bersamamu. Sayangnya kau tak bergerak, mengendap didasar gelas. Sejujurnya aku ingin merindukanmu dengan baik, dengan banyak semoga yang kupintal sebagai pengganti adaku yang meneduhkan juga menghangatkan. Aku belum pejam, anganku berkeliaran kemana-mana. Aku sedang memerangi diriku sendiri melawan ego juga emosi. Hanya karena aku ingin selalu mengertimu. Rintik peluh yang kubentuk menjadi tirai kesetiaan, biar lelah tapi tetap kulakukan. Aku tidak khawatir, karena didalam doaku- aku memohon Tuhan menjagamu. Semoga tidak ada yang sia-sia, semoga semua baik-baik saja. Lagi, aku belum pejam. Memikirkan kecerobohanku ketika aku tak bisa menguasai diri. Tak berkabar, mengapa? Ku harap kamu paham. Tidak ada yang kekal dalam hidup ini. Bagaimana jika Tuhan menukar posisi kita? katamu.

Seberapakali aku mencoba membuka percakapan denganmu, hasilnya tetap akan sama. Seperti berhenti pada kolom teks yang seharusnya sedari tadi sudah terisi. 

Teruntuk kamu yang (telah) datang, (telah) menghilang, (telah) kembali, lalu lenyap lagi. Aku mencarimu pada setiap senja yang warnanya menyesakkan. Aku tetap berlari untuk sekedar meyakinkan diri sendiri ada kau diujung sana. Dari semua yang terjadi, menyakitkan, menyesakkan, pun menyenangkan, aku hanya bermaksud menyayangimu, sudah itu saja.