Andai. Aku sedang tidak menyukai siapa siapa, tidak mencintai siapa siapa. Aku sedang tidak mengharapkan siapa siapa dan aku sedang tidak ingin menunggu siapapun. Karena aku terlalu lelah untuk semua.
"Selamat pagi kupu-kupu, cerah mentari menanggalkan kesedihan yang terpatri disudut kamar, menanti sedikit sentuhan dari sang penjaga rimba untuk sedikit mencairkan suasana". Kukira kau mengingat tulisan ini. Tanpa rasa bersalah kau kirimkan setiap kata yang kau rangkai dibalik cermin.
Kau pernah bilang, ini cerita tentang kita. Hanya kau dan aku saja tanpa mereka. Beberapa diantara kisah kita sudah usang, dan kita membuat bab baru dimana kita menuliskan ulang dari awal. Tapi, sepertinya kita akan menemukan akhir yang menyedihkan, meski kita tersenyum bersama tapi tidak untuk kita. Biarkan takdir yang memilih.
Aku tidak sedih saat kau tinggalkan sendiri, aku hanya merasa bodoh— karena sempat percaya untuk memberimu kesempatan yang kesekian. Kau hanya lupa, kau pernah melakukan kesalahan ini lalu kepadaku kau meminta untuk memperbaiki— kini terulang kembali dan kali ini aku benar-benar berhenti. Awalnya aku merindukan percakapan kita, yang terkadang membahas hal-hal yang tidak penting. Kupikir kau sudah cukup dewasa untuk memahami arti kita yang sebenarnya. Bahkan aku sudah kehabisan cara memperjuangkan kita. Terima kasih sudah mengajarkan aku bagaimana cara menyerah. Aku bahagia.
Bahkan untuk memilikipun semua terasa begitu menyakiti. Ada waktunya untuk berdiam, ada waktunya untuk mengungkapkan. Ada waktunya menunggu, ada waktunya bergerak. Bukan tentang mana yang lebih baik, tapi tentang waktu yang tepat. Kau telah berjanji memperbaiki, kesempatan telah kuberi—
berkali-kali. Namun bila semuanya masih terasa sama seperti dulu, lebih
baik kita berhenti. Memaksakan, tidak akan pernah menghasilkan; kecuali
ketidaknyamanan. Kita pernah menemukan seperti ini, dan dulu kita berhasil melewati. Jika saat ini aku berhenti, semoga kau mengerti.