Waktu menunjukkan pukul delapan belas lebih enam menit. Kuputar lagu yang menjadi latar kisahku saat ini. Awalnya kukira ini terlalu bodoh, tapi apa yang bisa dilakukan dari seseorang yang hatinya sedang meragu. Mengapa harus dirimu? Tanyaku dalam hati. Lagi-lagi karena sebuah jarak antara kita. Kadang memang seharusnya jangan terlalu dekat, sebab nanti akan banyak kekecewaan. Tuhan akan cemburu dan memberi sekat dihati.
Kurogoh saku bajuku, aku yakin secarik kertas itu masih disana. Ada sebuah nama yang memudar namun tetap membekas. Kutarik nafas dalam-dalam, kuhela dengan panjang. Jenuh?? Aku percaya selalu ada titik jenuh dalam hidup semua orang. Titik dimana kau hanya ingin berhenti sesaat. Lari dari tanggung jawabmu, lari dari kepribadianmu yang seharusnya membuat orang lain merasa senang berada di dekatmu. Di mana kau benci dengan segala macam rutinitas yang monoton, yang kau jalani berulang-ulang selama berbulan-bulan. Di mana kau sudah lelah beradaptasi agar diterima oleh mereka yang di sekelilingmu, yang sayangnya tak pernah bisa menyajikan hati yang tulus buatmu. Di mana kau ingin sekali membunuh orang-orang itu; mereka yang telah menyakitimu. Sayangnya, itu hanya bisa kau lakukan didalam mimpi. Kulihat sekali lagi secarik kertas yang kini dalam genggaman. Hatiku berdegup, akankah semua menghilang dari apa yang kubayangkan?
"Lelah aku pada setiaku. Capek itu biasa, lelah itu wajar, kalau jenuh istirahat dulu, tapi bukan untuk menghindar."
Sedih bukan lagi hal yang tabu. Ada hal yang harus mereda; ego. Hanya yang memahami yang bisa melapangkan hati. Aku cukup berdiri tegar ketika nama itu lagi-lagi disebut. Bukan namaku, sedikitpun tak ada yang berhubungan denganku. Aku tersenyum, secepat itu semua berubah kearah lain. Seperti busur panah yang terkadang dikira tepat, tetapi melesat jauh dari titik fokus. Jariku tersayat, hatiku ikut berdarah. Siapapun yang akan membaca tulisan ini, aku yakin tidak akan ada yang bisa dengan tepat memahami perasaanku. Teruntuk kau, kau yang diam-diam mencari tahu tentangku melalui segala sesuatu yang entah apa itu. Namamu selalu disebut, tenanglah. Aku tak mengusikmu, semoga saja kau memang benar membaca ini. Jangan langsung menolehkan wajah, lihat aku lebih dalam. Bisakah kita berdiskusi sedikit tentang kisah kita? Kau tak ingin berbagi? Aku tak pernah meminta untuk menukar sebuah posisi, aku tak pernah meminta untuk ada jarak diantara kita. Namun aku hanya ingin mengertilah aku sedikit saja. Aku yang menjaga hatiku dan hatinya agar tak ada yang terluka, terlebih aku juga menjaga hatimu. Kau yang disebut namanya. Aku bahagia karena kau selalu membuat dia tersenyum, tapi mungkin ada sedikit ruang kosong yang bisa aku tempati untuk membuat dia bahagia (juga); dengan caraku. Dia memang berarti untuk masing-masing kita, tapi Tuhan tidak mungkin mentakdirkan sesuatu jika itu adalah sebuah kesia-siaan. Tersenyumlah, kau tak akan pernah terganti sekalipun untuk saat ini aku selalu bersamanya. Kau yang selalu disebut namanya. Mungkin suatu hari nanti akan tiba sebuah masa.
Sejak pertama kisah seperti ini hadir didalam kehidupanku, sejak itulah aku pikir kapan semua akan berakhir dengan happy ending? Berkali, bahkan aku terlanjur muak jika harus mengingat kisah yang sama. Aku cukup takjub kisah ini terulang lagi. Dengarkanlah, tak ingin kuhalangi kau untuk berbahagia. Karena hanya dengan melihatmu berbahagia, maka ketika itulah aku merasa bahwa diriku berarti. Hanya itu yang bisa dilakukan setangkai dandelion kecil yang terbang terbawa angin. Namun sayangnya, dandelionku perlahan mati. Tak lagi bernafas hidup, membusuk dibalik semak. Sejumlah doa aku panjatkan tetapi benar bahwa jika Tuhan tidak mentakdirkan sesuatu, maka tidaklah sesuatu itu akan selamanya. Maaf untuk sebuah bahu yang ku pinjam, karena terkadang aku butuh sebuah sandaran. Menceritakan sebuah perjalanan sampai akhirnya aku membutuhkan tempat bersandar. Sekarang, aku menunggumu walau kau mengabaikanku. Tapi, jika aku yang pergi nanti, apakah kau akan menungguku kembali? Atau akulah yang menunggu kau untuk memintaku kembali? Terasa sama saja. Ah, lupakanlah. Karena nyatanya apapun yang telah kulakukan dan perjuangkan tak akan mengubah keputusanmu. Bahwa kau yang akan pergi meninggalkan.
"Kadang. Hanya orang-orang yang kuat yang mampu menuliskan kesedihannya."
Aku ingin kau percaya satu hal dari ribuan yang pernah kuceritakan. Ketika hatimu berada pada sudut paling sepi dan tersakiti, ingatlah setidaknya ada satu orang yang melihatmu sebagai seorang luar biasa yang pantas bahagia. Ada satu orang yang cara pandangnya kauisi, kaupengaruhi. Ia ingin kau berdiri.
Catatan untuk kau yang diam-diam men-stalking:
Terimakasih untuk waktu yang bisa kau bagi denganku untuk bersamanya. Aku belajar banyak darimu dan dia. Aku paham, ini tidak mudah untuk dijalani. Aku pernah berada diposisimu, juga dia. Tidak mudah, tapi bisakah kita meredakan ego sedikit saja? Coba lihatlah aku dari sudut pandang lain, dengan kacamata yang lebih pas tentunya. Tak perlu merasa hati tersayat, namaku tak ada dalam harinya. Dia selalu menyebut namamu, dia bangga terhadapmu. Engkau yang telah lama dan selalu mengisi hatinya. Aku cukup berbesar hati, karena sesungguhnya aku bukanlah siapa-siapa dan akan berakhir dengan serupa. Dia menginginkan aku tak lagi didalam hidupnya, jadi sudah semestinya kau bisa berbahagia. Tak ada yang merasa terbagi, seluruh waktu tetap untukmu. Waktuku bersamanya hanya sebatas dia menginginkanku disuatu waktu bukan setiap waktu. Kau adalah nafas yang selalu dihirup olehnya, sedangkan aku hanyalah jeda. Entah nantinya kau membaca ini atau tidak, tapi jika suatu hari nanti kau telah membaca tulisan ini. Tidak ada lagi yang mengusik perasaanmu, kau cukup berbahagia. Semoga suatu hari, kita bisa melukis bahagia bersama tanpa ada yang merasa tersakiti satu sama lain. ~