Selasa, 31 Maret 2020

Pura Pura (Luka)

Terkikis. Bahkan terlanjur memudar; menghilang.


Aku terdiam dibawah langit, menatap dengan nanar satu per satu daun yang menguning ditelapak kaki tanpa alas. Tak peduli tergores kerikil berserakan, tapi aku menikmati rasa sakit itu. Setetes demi setetes mulai terjatuh diseluruh penjuru, harum aroma petrichor serupa menjahit kenangan lalu. Dan lagi, aku menikmati masa-masa itu.

Banyak orang yang berkata bahwa aku ini bodoh. Rela mengorbankan setiap jejak-jejak waktu untuk menunggu. Mereka tahu apa?? Mereka tidak perlu tahu aku terluka. Mereka tidak perlu tahu jika hatiku nyaris rebah bahkan patah. Sesekali, aku pun ingin egois. Sebab menahan luka, membuatku hilang kendali akan tangis. 

Hujan masih belum reda, aku masih orang yang biasa. Terbiasa meratapi luka yang tak patut diingat lagi. Terbiasa dengan angin yang mencoba merayu kenangan. Terbiasa memintal mimpi pada bulan, lalu terbakar matahari. Benarkan?? Aku masih orang yang biasa. Begitu yang aku pahami. 

Perlahan kusandarkan diri pada sebuah batang cemara yang basah. Basah oleh tangis langit yang menghitam seperti sebuah gumpalan amarah. Seolah-olah berkata, jangan tautkan hatimu pada siapapun. Benar. Tak usah saling menyalahkan, kita sama-sama memiliki luka yang menyakitkan. Tetapi pada kenyataannya saat ini, meski tahun telah berganti. Aku masih saja membaca buku yang sama. Aku kembali menggali, dan aku berharap semoga aku bisa mengakhiri "pilihan" mengulang berkali-kali kisah ini. 

Kamu tahu? Sulit menjadi aku yang tahan akan luka. Hari ini, tidak satupun manusia yang akan peduli apakah ia telah melukai orang lain atau tidak. Namun pada saat yang bersamaan, mereka juga tidak ingin dilukai. Kamu berhak memilih, kamu juga berhak bahagia dengan apa yang kamu pilih. Aku memilih terluka, dan kamu memilih melukai. Mungkin lebih baik begini, berpura-pura baik-baik saja.

Pada akhirnya, kita akan berpura-pura.

0 komentar:

Posting Komentar